Selasa, 07 Juni 2011

model-model membaca

MODEL-MODEL MEMBACA
A.Model Membaca Atas-Bawah (MMAB)
Teori ini dikenal sebagai model psikolinguistik dalam membaca dan teori ini dikembangkan oleh Goodman (1976). Model ini memandang kegiatan membaca sebagai bagian dari proses pengembangan skemata seseorang yakni pembaca secara stimultan (terus-menerus) menguji dan menerima atau menolak hipotesis yang ia buat sendiri pada saat proses membaca berlangsung. Pada model ini, informasi grafis hanya digunakan untuk mendukung hipotesa tentang makna. Pembaca tidak banyak lagi membutuhkan informasi grafis dari bacaan karena mereka telah memiliki modal bacaan sendiri untuk mengerti bacaan. Proses membaca model ini dimulai dengan hipotesis dan prediksi-prediksi kemudian memverifikasinya dengan menggunakan stimulus yang berupa tulisan yang ada pada teks.
Inti dari model membaca atas bawah adalah pembaca memulai proses pemahaman teks dari tataran yang lebih tinggi. Pembaca memulai tahapan membacanya dengan membaca prediksi-prediksi, hipotesis-hipotesis, dugaan-dugaan berkenaan dengan apa yang mungkin ada dalam bacaan, bermodalkan pengetahuan tentang isi dan bahasa yang dimilikinya. Untuk membantu pemahaman dengan menggunakan teori ini, pembaca menggunakan strategi yang didasarkan pada penggunaan petunjuk semantik dan sintaksis, artinya untuk mendapatkan makna bacaan, pembaca dapat menggunakan petunjuk tambahan yang berupa kompetensi berbahasa yang ia miliki. Jadi, kompetensi berbahasa dan pengetahuan tentang apa saja memainkan peran penting dalam membentuk makna bacaan.
Jadi menurut model membaca atas-bawah dapat disimpulkan bahwa pengetahuan, pengalaman dan kecerdasan pembaca diperlukan sebagai dasar dalam memahami bacaan.
Model membaca atas bawah ini berpijak pada teori psikolinguistik, mengenai interaksi antara pikiran dan bahasa. Goodman (1967) bependapat bahwa membaca itu merupakan proses yang meliputi penggunaan isyarat kebahasaan yang dipilih dari masukan yang diperoleh melalui persepsi pembaca. Pemilihannnya itu dilakukan dengan kemampuan memperkirakan. Ketika informasi itu di proses, terjadilah keputusan-keputusan sementara untuk menerima, menolak atau memperhalus. MMBA menggunakan informasi grafis itu hanya untuk mengukung atau menolak hipotesis mengenai makna.
Makna diperoleh dengan menggunakan informasi yang perlu saja dari system isyrat semantik, sintaksis, dan grafik. Isyarat grafik diturunkan dari media cetak, isyarat-isyarat lainnya berasal dari kebahasaan pembaca, pembaca mengembangkan berbagai strategi untuk memillih isyarat grafis yang paling berguna, setelah pembaca menjadi semakin terampil, informasi grafis itu semakin berkurang pula perlunya, sebab pembaca telah memiliki perbendaharaan kata dan konsep-konsep yang semakin kaya. Strategi-strategi untuk membuat perkiraan yang didasarkan pada penggunaan isyarat semantic dan sintaksis, memungkinkan pembaca untuk memahami materi dan umtuk mengantisipasi apa yang tampak berikutnya di dalam materi cetak yang sedang dibaca.
B. Model Membaca Bawah Atas (MMBA)
Pada model membaca bawah atas stuktur-struktur yang ada dalam teks itu dianggap sebagai unsure yang memainkan peran utama, sedangkan struktur-struktur yang ada dalam pengetahuan sebelumnya merupakan hal yang sekunder. MMBA pada dasarnya merupakan proses penerjemahan dekode dan encode. Decode adalah kegiatan mengubah tanda-tanda menjadi berita. Encode ialah kegiatan mengubah berita menjadi lambing-lambang. Pada MMBA pembaca mulai dengan huruf – huruf atau unit-unit yang lebih besar, dan setelah itu barulah ia melakukan antisipasi terhadap kata-kata yang diejanya itu.
Teori proses informasi (cough) bepandapat bahwa membaca itu pada dasarnya adalah penerjenahan lambang grafik kedalam bahasa lisan. Mempelajari apa yang dikatakan lambang tercetak merupakan kegiatan satu-satunya dalam proses membaca. Menrut MMBA, tugas pertama seorang pembaca ialah mendekode lambang-lambang tertulis itu menjadi bunyi-bunyi bahasa. Peran pembaca bersifat relative pasif dalam proses penerjemahan itu. Satu-satunya pengetahuan yang didiapkan ialah pengetahuan tentang hubungan antara lambang dan bunyi. Jelaslah bahwa menurut MMBA teks bacaan itu diproses okeh pembaca tanpa informasi yang mendahuluinya yang ada hubungannya dengan isi bacaan.
Inti proses membaca menurut teori ini adalah proses kengkodean kembali simbol tuturan tertulis (Harris & Sipay, 1980). Membaca dalam proses bottom-up merupakan proses yang melibatkan ketepatan, rincian, dan rangkaian persepsi dan identifikasi huruf-huruf, kata-kata, pola ejaan, dan unit bahasa lainnya. Tugas utama pembaca menurut teori ini adalah mengkode lambang-lambang yang tertulis menjadi bunyi-bunyi bahasa (Harjasuna, 1996).
Brown (2001) menyatakan bahwa pada proses bottom-up membaca terlebih dahulu mengetahui berbagai tanda linguistik, seperti huruf, morfem, suku kata, kata-kata frasa, petunjuk gramatika dan tanda wacana, kemudian menggunakan mekanisme pemrosesan yang masuk akal, koheren dan bermakna. Agar bisa memahami bacaan pada teori ini, pembaca membutuhkan keterampilan yang berhubungan dengan lambang bahasa yang digunakan dalam teks.
Menghubungkan ucapan ‘ka’ /ka/ dan ‘I’ /i/ menjadi ‘ki’ /ki/ ternyata merupakan hal yang tidak mudah bagi anak-anak yang baru mulai belajar membaca. Itulah sebabnya dalam metode fonik, konsonan-konsonan itu tidak diucapkan seperti ucapan alphabet. Huruf ‘k’ tidak di ucapkan /ka/ tetapi /kh/, huruf ‘d’ tidak di ucakan /de/ tetapi /dh/, de.
C. Model Timbal-Balik
Model Membaca Timbal-Balik (MMTB) dicanangkan oleh teoris Rumelhart (1977). Rumeljart mereaksi dua model membaca yang telah kita singgung di muka. Dia beranggapan bahwa model-model yang terdahulu itu tidak memuaskan, karena pada umumnya model-model tersebut bertitik tolak pada pandangan formalisme model-model perhitungan yang linear. Model-model itu mempunyai sifat-sifat berurut-berlanjut, tidak interaktif.

MMTB melukiskan MMBA dan MMAB berlangsung simultan pada pembaca yang mahir. Artinya, proses membaca tidak lagi menunjukkan suatu proses yang bersifat linier, tidak menjukkan proses yang berturut-berlanjut, melainkan suatu proses timbal balik yang bersifat simultan. Pada suatu saat MMBA berperan dan pada saat lain justru MMAB yang berperan. Para penganut paham MMTB percaya bahwa pemahaman itu tergantung pada informasi grafis atau informasi visual dan informasi nonvisual atau informasi yang sudah tersedia dalam pikiran pembaca. Oleh karenanya, pemahaman bisa terganggu jika ada pengetahuan yang diperlukan untuk memahami bacaan yang dibacanya tidak bisa digunakan, baik disebabkan pembaca lupa akan informasi tersebut atau mungkin juga karena skemanya terganggu.
Paradigma yang diajukan Rumelhart untuk melukiskan proses membaca itu berlainan dengan paradigma-paradigma yang pernah ada sebelumnya. Dalam kompultasi paralel selalu terjadi interaksi di antra proses-proses yang berlangsung berkelanjutan dan akhirnya sampai pada suatu kesimpulan. Rumelhart mengajukan pendapat yang menyatakan bahwa membaca sebagai kegiatan yang meliputi berbagai tipe pemrosesan informasi dan unit-unit pemrosesan itu bersifat sangat interaktif dan berlanjut. Dengan menggunakan formalisme yang dikembangkan dengan komputer, Rumelhart dapat menjelaskan secara tepat aspek-aspek membaca yang bersifat parallel dan yang bersifat interaktif. Aspek-aspek yang dikemukakan oleh Rumelhart itu sudah dijelaskan oleh para ahli yang terdahulu. Akan tetapi, penjelasan yang disampaikan para pendahulunya tidak mencapai tingkat kejelasan seperti yang dijelaskan oleh Rumelhart.
MMTB sukar dilukiskan dalam diagram dua dimensi. Dalam gambar yang berikut ini penyimpan informasi visual (PIV) mencatat informasi grafis. PIV itu disentuh oleh alat penyadap ciri (APC). Ciri-ciri yang disadap itu digunakan sebagai masukan untuk pemadu pola (PP).
PP merupakan komponen yang utama dalam model ini. Ke dalamnya bisa masuk informasi sensoris, informasi tentang kemungkinan-kemungkinan sintaksis, semantik, leksikal, dan struktur ortografis tentang berbagai untaian huruf. PP membuat keputusan berdasarkan informasi-informasi yang masuk ke dalamnya itu.
Mari kita perhatikan paradigma Rumelhart dalam gambar berikut.

Model yang dilukiskan dalam diagram di atas, menunjukkan adanya pengaruh berbgai tahapan (grafik, semantic, dan sebagainya) terhadap kegiatan membaca dalam bentuk interaktif. Yang tidak dijelaskan dalam proses tersebut ialah bagaimana komponen-komponen itu berinteraksi. Hal inilah yang kemudian menjadi bahan pemikiran ahli lain, seperti Goodman dan Ruddel. Yang tidak ada di dalam model itu ialah gambaran tentang kerja pemandu polanya sendiri.
Pengembangan gambaran proses membaca yang dibuat oleh Rumelhart merupakan sumbangan utama terhadap model-model membaca. Rumelhart menampilkan suatu model membaca yang menunjukkan komponen-komponen sensori, semantik, sintaksis, dan pragmatik yang diperoleh dalam bentuk interaktif untuk memperoleh pemahaman tentang bahasa tulis. Berbagai jenis informasi masuk ke dalam pusat berita; berbagai hipotesis dirumuskan, kemudian disetujui, ditentukan, dikukuhkan atau ditolak oleh sumber informasi yang layak. Hipotesis baru digeneralisasikan hingga pada akhirnya tercapailai hipotesis yang paling layak. Interaksi antara hipotesis dan sumber informasi dapat ditandai secara matematis dalam model probabilitas. Dengan demikian, membaca itu dipandang sebagai formulasi hopotesis, pengujian probabilitas dengan menggunakan serangkaian sumber informasi, dan akhirnya dibuatlah keputusan tentang hipotesis yang terbaik yang diterima sebagai makna.
Rumelhat telah melengkapi kita dengan pengetahuan tentang sebuah model yang cukup canggih. Dengan menggunakan model tersebut kita dapat mengatasi masalah yang berkenaan dengan proses kebahasaan seperti yang tampak pada perilaku pola membaca. Model ini mempunyai ciri yang esensial yang menjelaskan betapa proses kebahasaan peringkat yang lebih tinggi (semantik dan makna) mempermudah proses kebahasaan peringkat rendah (huruf, kata), dan betapa penguasaan atas peringkat yang lebih tinggi itu mempermudah penguasaan atas peringkat yang lebih rendah.
Model membaca yang dikemukakan oleh Rumelhart itu mengingatkan pembaca agar informasi yang dimilikinya (meskipun jumlahnya sangat terbatas) dapat dimanfaatkan pada saat melakukan kegiatan membaca. Dilihat dari bidang pengajaran, hal tersebut menunjukkan adanya kemungkinan besar bagi guru untuk menolong para siswanya menjadi pembaca yang fleksibel, ialah pembaca yang mampu mengatur kecepatan tempo bacanya sesuai dengan sifat, manfaat, tujuan, kebutuhan dan relevansi dari materi bacaan tersebut. Pembaca harus dialihkan perhatiannya dari struktur lahir bahasa (kata, huruf, kalimat, dan sebagainya) ke struktur batin, ke bagian yang menghendaki prakiraan.
Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan memprakirakan dan menemukan makna bacaan itu ialah strategi pengajaran yang memungkinkan siswa menggunakan bahasa yang dimilikinya serta informasi pragmatik yang telah dimilikinya dalam proses menyimak dan berbicara. Guru dituntut untuk mengembangkan strategi yang mendorong siswa supaya bersikap aktif-kognitif agar dapat menjadi pembaca yang mahir.
Yang dapat kita lakukan sebagai guru adalah menciptakan lingkungan yang kondusif, yang mendorong menumbuhkan minat baca yang positif. Perlu diutamakan keyakinan bahwa dalam hal ini bukanlah kehadiran guru dalam lingkungan itu yang pertama dan utama, melainkan kehadiran siswa itu sendiri. Kemampuan membaca akan meningkat hanya dengan jalan melakukan kegiatan membaca itu sendiri. Melakukan aktifitas baca sama dengan berlatih membaca. Latihan tersebut akan mendorong mereka meningkatkan kemampuan membaca serta menemukan sendiri strategi yang paling tepat untuk dirinya dalam menghadapi bacaan.
Dalam praktek pengajaran membaca, hal tersebut menunjukkan kita pada berbagai konsep dan pandangan tentang berbagai metode pengajaran membaca. Kiranya kita perlu meninggalkan berbagai asumsi yang pernah menguasai metode pengajaran pada masa-masa silam. Sebagai contoh, guru tidak perlu lagi terlalu memikirkan adanya kebolongan kosakata yang mungkin belum diketahui siswa. Dengan keterbatasan-keterbatasan tersebut, kemudian guru berpikir bahwa pengajaran membaca tidak mungkin dilakukan.
Para guru lebih baik meyakinkan para siswanya bahwa bagaimanapun para siswa tidak perlu berkecil hati dan frustasi dengan bacaan yang sarat dengan kosakata sukar yang tidak dapat dipahaminya. Yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana mereka dapat memanfaatkan informasi nonvisual. Informasi ini akan membantu siswa untuk merekontruksi makna dari lambang-lambang yang berupa cetakan. Perubahan sikap seperti itu akan membuat mereka percaya diri dan bergantung pada kemampuan sendiri. Hambatan kosakata yang dialaminya akan diatasi sendiri dengan jalan memproses masukan linguistik dan memadukannya dengan aspek kognitif yang dimilikinya. Dengan demikian, para siswa tidak lagi akan bergantung kepada guru atau pun sumber-sumber lainnya yang datang dari luar pada waktu mereka menghadapi masalah-masalah dalam membaca.
Model yang dianjurkan oleh Rumelhart itu mendukung salah satu keyakinan yang secara intuitif telah diterima oleh banyak orang, ialah bahwa pembaca akan lebih merasa terlayani jika kita membekali mereka dengan kesiapan untuk membaca materi yang disajikan kepada mereka. Banyak hal yang bisa dilakukan guru dalam upaya membekali pengetahuan siap mereka. Prosedur-prosedur tersebut dapat berupa kegiatan-kegiatan berikut: diskusi, pertunjukan film, karyawisata, bercerita, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan ini bermanfaat bagi para siswa dalam upaya membantu mereka untuk menggunakan latar belakang informasi (pengetahuan) yang dimilikinya. Pengetahuan siap ini akan mempermudah proses memahami bacaan dengan lebih layak dan lebih baik.
Cara lama yang masih banyak digunakan para guru ialah pemberian tugas membaca. Pemberian tugas ini kadang-kadang merupakan tugas prasyarat untuk tugas berikutnya berupa diskusi. Tampaknya, meskipun metode pemberian tugas ini tidak terlalu jelek dan merupakan salah satu cara yang bisa digunakan untuk membangkitkan motivasi siswa, namun cara ini tampaknya sudah �ketinggalan zaman�. Bagaimanapun hal-hal yang dibawa pembaca tersebut dari proses yang dijalaninya itu. Oleh karena itu, guru boleh berkeyakinan bahwa proses membaca akan berlangsug lebih baik jika prosedur penugasan itu dibalikkan, diskusi dulu, baru kemudian membaca.
Dalam bidang metode pengajaran, model Rumelhart itu dipandang sebagai model yang sudah membaur dengan berbagai strategi pengajaran yang telah menunjukkan keberhasilannya. SQ3R misalnya, memberikan dorongan kepada siswa untuk menyurvai, bertanya dan bertanya, membuat prakiraan, dan membaca untuk menguji hipotesis. Model membaca yang baik harus dapat menjelaskan teori berbagai pendekatan yang baik untuk membaca dan belajar. Model yang baik harus pula memberikan penjelasan terhadap langkah-langkah pengajaran yang baru.
Model Rumelhart berguna sekali untuk pengajaran membaca pada peringkat sekolah menengah, baik sekolah mengengah pertama maupun peringkat di atasnya. Model ini sangat baik untuk mengakrabkan dan mendorong mereka dalam pengujian cara dan strategi membaca yang biasa mereka lakukan sendiri.
Setelah anda mempelajari dengan seksama konsep-konsep MMTB yang diprakarsai Rumelhart, bagaimana pendapat dan komentar anda terhadap prinsip-prinsip yang ada di dalamnya? Ya, mungkin anda tergolong orang yang berpendapat bahwa model Rumelhart itu tidak menarik karena di dalamnya sesungguhnya tidak ada hal-hal yang baru bagi anda. Sebagai guru, anda mungkin sudah terbiasa dengan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka yang biasa timbul dalam pikiran anda selagi membaca. Bukankah pertanyaan-pertanyaan yang muncul selagi kita membaca merupakan cerminan dari proses interaktif dari kerja mata dan kerja kognisi pada saat kita merespon bacaan. Sebagai guru anda pun sudah terbiasa dengan pemberian rangsangan-rangsangan kepada para siswa anda agar mereka membuat prakiraan-prakiraan, hipotesis, antisipasi, klasifikasi, yang memungkinkan mereka untuk berfikir secara divergen. Mungkin, kita telah melakukan sesuatu yang tidak kita ketahui landas pijaknya. Dengan pengetahuan ini, mudah-mudahan apa yang telah kita lakukan tersebut dapat kita yakini sebagai sebuah kebenaran dan sesuatu yang dapat memberikan manfaat yang lebih baik.
Dalam model Rumelhart, mungkin anda tidak melihat adanya pembicaraan tentang aplikasi. Memang, Rumelhart boleh dikatakan tidak menyinggung masalah aplikasi itu. Dia tidak pula menyinggung masalah pramembaca, yakni suatu kondisi sebelum seseorang sampai pada halaman-halaman bercetak. Dia memulai konsepnya dari halaman bercetak, dan dari situ kemudian bergerak ke depan dengan konsep-konsep interaksi.
MMTB sangat berbeda dengan MMBA seperti yang dikemukakan oleh Gough, La Berge dan Samuel (1974). MMBA bersifat linear dan berjenjang, dimulai dari pemrosesan unit linguistik yang paling kecil, yakni huruf-huruf, kemudian bergerak menuju pemrosesan kelompok huruf, kata-kata, kelompok kata, kalimat, hingga akhirnya sampai ke makna. Sebaliknya MMTB membenarkan proses yang dimulai dari peringkat yang lebih tinggi MMTB mulai dengan semantik atau makna kata. Pada peringkat yang lebih tinggi itu ada bank data yang bekerja secara simultan. Kita memiliki sintaksis, semantik, ortografi, dan leksikon yang bekerja secara serentak, tidak bekerja secara berurutan seperti halnya dalam MMBA.
Kemampuan membaca dapat dikembangkan secara baik melalui pengayaan pengalaman membaca. Siswa perlu sekali membaca materi sebanyak-banyaknya sehingga mereka dapat memahami kata dalam konteks yang berbeda-beda. Guru dapat membantu muridnya mempertinggi dan meningkatkan keterampilannya dalam membaca dengan jalan membimbing mereka untuk terus membaca sebanyak-banyaknya. Yang perlu diperhatikan benar dalam hal ini ialah sikap murid. Guru yang terlalu sering memberi tugas yang berada di luar jangkauan kemampuan muridnya akan membuat siswa terbunuh minat dan motivasinya. Salah satu upaya untuk membangkitkan minat baca siswa ialah dengan jalan menyediakan bahan bacaan yang kira-kira dapat menarik perhatian mereka.
D. Model Membaca Interaktif
Model ini merupakan kombinasi antara pemahaman model membaca atas bawah dan model membaca bawah atas. Pada model interaktif, pembaca mengadopsi pendekatan model membaca atas bawah untuk memprediksi makna, kemudian beralih ke pendekatan model membaca bawah atas untuk menguji apakah hal itu benar-benar dikatakan oleh penulis. Artinya, kedua model tersebut terjadi secara stimultan pada saat membaca.
Penganut teori ini memandang bahwa kegiatan membaca merupakan suatu interaksi antara pembaca dengan teks. Dengan teori itu, dijelaskan bagaimana seorang pembaca menguasai, menyimpan dan mempergunakan pengetahuan dalam format skemata. Kegiatan membaca adalah proses membuat hubungan yang berarti bagi informasi baru dengan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya (skemata).
Menurut pandangan interaktif, membaca diawali dengan formulasi tentang hipotesis tentang makna, kemudian dilanjutkan dengan menguraikan makna huruf, kata, dan kalimat dalam bacaan. Model interaktif adalah model membaca yang menggunakan secara serentak antara pengetahuan informasi grafik dan informasi yang ada dalam pikiran pembaca.
Proses membaca menurut pandangan interaktif adalah proses intelektual yang kompleks, mencakup dua kemampuan utama, yaitu kemampuan memahami makna kata dan kemampuan berpikir tentang konsep verbal (Rubin, 1982). Pendapat ini mengisyaratkan bahwa ketika proses membaca berlangsung, terjadi konsentrasi dua arah pada pikiran pembaca dalam waktu yang bersamaan. Dalam melakukan aktivitas membaca, pembaca secara aktif merespon dan mengungkapkan bunyi tulisan dan bahasa yang digunakan oleh penulis. Selain itu, pembaca dituntut untuk dapat mengungkapkan makna yang terkandung di dalamnya atau makna yang ingin disampaikan oleh penulis melalui teks yang dibacanya.
Kesimpulannya, dapat dikatakan bahwa membaca pemahaman merupakan proses aktif yang di dalamnya melibatkan banyak faktor. Keterlibatan faktor-faktor itu bertujuan untuk memperoleh pemahaman melalui proses interaksi antara pembaca dengan bacaan dalam peristiwa membaca.
Neil Anderson mengakui bahwa model interaktif ini adalah model paling tepat untuk diterapkan karena model ini juga merupakan gambaran yang paling baik mengenai apa yang terjadi ketika membaca. Karena itu, membaca sebenarnya adalah gabungan proses bawah-atas dan atas-bawah. Aspek Mekanis Membaca Lou E. Burmeister (1978), dalam Improving Speed of Comprehension in Reading menguraikan tentang Aspek Mekanis Membaca dengan melontarkan beberapa pertanyaan. Bagaimana mata seseorang bergerak ketika mereka membaca? Apakah mata tersebut bergerak dengan lembut, seperti ketika mengawasi seekor burung yang sedang terbang atau menyaksikan pesawat terbang yang sedang mendarat? Atau apakah mata bergerak, berhenti, bergerak, berhenti lagi, bergerak lagi dan berhenti lagi? Penelitian dalam ranah ini jelas menarik bagi para ilmuwan pendidikan yang banyak berhubungan dengan masalah penelitian akademis, sedangkan hasilnya diperkirakan banyak menarik minat para instruktur pengajaran bahasa yang lebih banyak berkiprah dalam ranah yang jauh lebih bersifat praktikal.
Salah satu metodologi yang digunakan untuk meneliti pergerakan mata, yang menurut penggagasnya dapat dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja dalam kelas pengajaran bahasa, adalah dengan meminta salah seorang memperhatikan mata seseorang ketika dia sedang membaca. Apakah mata si pembaca bergerak dengan lembut? Jika mata tersebut bergerak dengan lembut, maka dapat dipastikan bahwa dia tidak sedang membaca, kata Lou E. Burmeister. Lebih jauh pakar pendidikan ini mengatakan bahwa dalam kenyataannya, tentu saja berdasarkan hasil penelitiannya selama bertahun-tahun, kata (atau kata-kata) hanya dapat dibaca apabila mata tidak bergerak. Hanya apabila mata berhenti bergerak, atau terpusat pada satu bagian dari kata, pada satu kata, atau pada satu frase, maka barulah si pembaca mendapatkan apa yang dinamakan citra visual. Berikutnya, jika memang dikehendaki mata akan bergerak untuk kemudian berhenti lagi jika si pembaca ingin mendapatkan citra visual yang lain. Atau dengan kata lain, dalam membaca mata seorang pembaca haruslah berhenti, bergerak, berhenti lagi, bergerak lagi, dan seterusnya, jika dia menginginkan memahami apa yang dibacanya.
Dalam keadaan sebenarnya, khususnya ketika seseorang membaca secara berkelanjutan dan bukannya hanya satu kata saja, proses berhenti dan bergerak ini mungkin memerlukan waktu tidak lebih dari seperenam detik. George D. Spathe (1962) dalam Is This a Breakthrough in Reading? menyatakan bahwa lebar rentang jarak yang diperlukan sepasang mata dalam membaca tidak dapat melebihi tiga kata, atau dengan kata lain seorang pembaca yang paling cepat sekali pun, berdasarkan hasil penelitian ini, tidak akan mampu membaca lebih banyak dari tiga kata dalam satu periode tertentu sebelum dia menggerakkan kembali matanya menuju ke kelompok kata yang lain.











DAFTAR PUSTAKA
http://ilmucomputer2.blogspot.com/2009/09/model-membaca-interaktif.html
http://daudp65.byethost4.com/baca2/reading-models3.htm
Harjasujana, Ahmad S. 1988. Materi Pokok Membaca. Jakarta: Karunika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar